^
^
Extra Ecclesiam nulla salus (EENS) | Sekte Vatikan II | Bukti dari Kitab Suci untuk Katolisisme | Padre Pio | Berita | Langkah-Langkah untuk Berkonversi | Kemurtadan Besar & Gereja Palsu | Isu Rohani | Kitab Suci & Santo-santa |
Misa Baru Tidak Valid dan Tidak Boleh Dihadiri | Martin Luther & Protestantisme | Bunda Maria & Kitab Suci | Penampakan Fatima | Rosario Suci | Doa-Doa Katolik | Ritus Imamat Baru | Sakramen Pembaptisan |
Sesi telah kadaluarsa
Silakan masuk log lagi. Laman login akan dibuka di jendela baru. Setelah berhasil login, Anda dapat menutupnya dan kembali ke laman ini.
Dukacita Maria yang Kelima: Wafat Yesus
Tujuh Dukacita Santa Perawan Maria
“Kita sekarang harus menyaksikan kemartiran yang baru – seorang Ibunda yang dihukum untuk melihat seorang Putra yang tidak bersalah, yang dicintainya dengan sepenuh kasih sayang jiwanya, disiksa dengan kejam dan dibunuh di hadapan matanya sendiri: ‘Berdirilah di hadapan salib Yesus Ibunda-Nya.’[1] Santo Yohanes percaya bahwa dalam kata-katanya ia telah berkata dengan cukup tentang kemartiran Maria. Pertimbangkanlah dirinya di kaki salib di hadapan Putranya yang akan segera meninggal, dan lalu lihatlah bilamana terdapat dukacita yang seperti dukacitanya. Marilah kita tetap berada sejenak pada hari ini di Kalvari, dan pertimbangkanlah pedang kelima yang, pada wafat Yesus, menembus hati Maria.
Segera setelah sang Penebus yang menderita telah mencapai Gunung Kalvari, para algojo melepaskan pakaian-Nya, dan menusuk tangan dan kakinya ‘bukan dengan paku yang tajam, tetapi dengan paku yang tumpul,’ ujar Santo Bernardus, untuk lebih menyiksa-Nya,[2] mereka memaku-Nya di salib. Setelah mereka menyalibkan-Nya, mereka menancapkan salib itu, dan meninggalkan-Nya untuk mati. Para algojo meninggalkan-Nya; tetapi, Maria tidak. Ia lalu mendekat ke salib, untuk menghadiri wafat-Nya: ‘Aku tidak meninggalkan-Nya’ (demikianlah yang diwahyukan oleh sang Perawan Suci kepada Santa Brigitta), ‘tetapi berdiri mendekat ke salib.’[3] ‘Tetapi apa gunanya, ya Nona,’ ujar Santo Bonaventura, ‘untuk pergi ke Kalvari, dan melihat Putra ini meninggal? Rasa malu seharusnya telah mencegahmu; sebab aib-Nya adalah aibmu, karena engkaulah Ibunda-Nya. Setidaknya, kengerian untuk menyaksikan kejahatan semacam penyaliban Allah oleh para makhluk-Nya seharusnya telah mencegahmu untuk pergi ke sana.’ Tetapi, Santo yang sama menjawab, ‘Ah, hatimu pada waktu itu tidak memikirkan dukacitanya sendiri, melainkan dukacita dan wafat dari Putramu yang terkasih,’[4] dan oleh karena itu, engkau menghendaki dirimu sendiri untuk hadir, setidaknya untuk berbelas kasih kepada-Nya. ‘Ah, Ibunda sejati,’ ujar William, Kepala Biara, ‘Bunda yang amat pengasih, yang bahkan tidak dapat dipisahkan oleh rasa takut akan kematian dari Putramu yang tercinta.’[5] Tetapi, ya Allah, kejamnya pemandangan itu untuk melihat Putra ini menderita di salib, dan di kakinya, Ibunda ini menderita, menanggung segala siksaan yang ditanggung oleh Putranya!
Dengarkanlah kata-kata yang diucapkan oleh Maria untuk mewahyukan kepada Santa Brigitta keadaan dukacita di mana ia melihat Putranya yang sekarat di salib: ‘Yesusku yang terkasih sesak napas, lelah, dan di dalam penderitaan-Nya yang terakhir di salib; mata-Nya cekung, setengah tertutup, dan tidak bernyawa; bibir-Nya tergantung; dan mulut-Nya terbuka; pipi-Nya cekung dan terbawa masuk; wajah-Nya menjadi panjang, hidung-Nya tajam, air muka-Nya sedih: kepala-Nya telah jatuh ke dada-Nya, rambut-Nya hitam akibat darah, perut-Nya jatuh, lengan dan kaki-Nya kaku, dan seluruh tubuh-Nya diliputi oleh luka-luka dan darah…’[6]
Pada ibunda biasanya menghindari kehadiran anak-anak mereka yang sekarat; tetapi, sewaktu seorang ibunda harus menyaksikan pemandangan semacam itu, ia mencari segala kelegaan yang mungkin bagi anaknya; ia merapikan ranjangnya, agar ia dapat merasa lebih nyaman; ia menyiapkan minuman untuknya; dan dengan demikian, sang ibunda yang malang pun melegakan deritanya sendiri. Ah, Bunda yang paling menderita dari segala Ibunda! Ya Maria, engkau harus menyaksikan penderitaan Yesusmu yang sekarat; tetapi engkau tidak dapat memberikan-Nya kelegaan sedikit pun. Maria mendengar Putranya berseru, ‘Aku haus,’ tetapi ia bahkan tidak dapat memberikan kepada-Nya setetes air pun untuk melegakan dahaga-Nya yang besar. Ia hanya dapat berkata, seperti yang dinyatakan oleh Santo Vinsensius Ferrer, ‘Putraku, yang kupunya hanyalah air mata.’[7] Ia melihat bahwa di atas ranjang penyiksaan itu, Putranya, tergantung oleh tiga paku, tidak dapat memperoleh istirahat; ia akan telah memeluk-Nya di dalam tangannya untuk memberikan-Nya kelegaan, atau setidaknya Ia akan mati di dalam tangannya, tetapi ia tidak dapat. ‘Sia-sia,’ ujar Santo Bernardus, ‘ia mengulurkan tangannya; tangannya kembali hampa di dadanya.’[8] Ia melihat Putra yang malang itu, yang di dalam lautan penderitaan-Nya mencari penghiburan, sebagaimana yang dinubuatkan oleh sang nabi, tetapi dengan sia-sia: ‘Aku telah memeras di tempat pemerasan anggur sendiri; Aku melihat ke sana dan ke mari, dan tiada seorang pun yang membantu; Aku mencari, dan tidak seorang pun memberikan pertolongan.’[9] Tetapi siapakah dari antara manusia akan menghibur-Nya, sebab semua itu musuh-musuh-Nya? Bahkan di salib, Ia diejek dan dihujat dari segala sisi: ‘dan mereka yang lewat, menghujat-Nya, menggelengkan kepada mereka.’[10] Beberapa orang berkata kepada wajah-Nya, ‘Jika Engkau Putra Allah, turunlah dari salib.’[11] Yang lain, ‘Ia menyelamatkan orang lain, diri-Nya sendiri tidak dapat diselamatkan-Nya.’[12] Kembali lagi, ‘Jika Ia adalah Raja Israel, hendaknya Ia turun dari salib sekarang.’[13] Bunda kita yang Terberkati sendiri berkata kepada Santa Brigitta,[14] ‘Aku mendengar beberapa orang berkata bahwa Putraku adalah seorang pencuri; yang lain, bahwa Ia adalah seorang pemalsu ; yang lain, bahwa tiada seorang pun yang pantas mati daripada diri-Nya; dan setiap kata adalah sebuah pedang derita bagi hatiku.’
Tetapi, yang paling meningkatkan dukacita yang ditanggung oleh Maria oleh ibanya kepada Putranya, adalah bahwa ia mendengar-Nya mengeluh di salib bahwa bahkan Bapa-Nya yang Abadi telah meninggalkan-Nya: ‘Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau telah meninggalkan Aku?’[15] Kata-kata yang diucapkan oleh sang Bunda Allah kepada Santa Brigitta yang sama tidak pernah, semasa hidupnya, meninggalkan benaknya.[16] Maka, sang Bunda yang berduka melihat Yesusnya menderita di segala sisi; ia ingin menghibur-Nya, tetapi tidak bisa. Dan yang paling mendukakannya dalah untnuk melihat bahwa dirinya sendiri, oleh kehadiran dan dukacitanya, meningkatkan penderitaan Putranya. ‘Penderitaan,’ ujar Santo Bernardus, ‘yang memenuhi hati Maria, bagaikan sebuah sungai yang mengalir ke dalam dan yang memahitkan hati Yesus.’[17] ‘Sedemikian rupa sehingga,’ ujar Santo yang sama, ‘Yesus di salib lebih menderita akibat rasa iba kepada Ibunda-Nya daripada akibat siksaan-Nya sendiri.’ Maka, Ia berbicara atas nama sang Perawan Suci: ‘Aku berdiri dengan mataku yang terpaku kepada-Nya, dan mata-Nya yang terpaku kepadaku, dan Ia lebih menderita untukku daripada untuk diri-Nya sendiri.’[18] Dan lalu, sambil berbicara tentang Maria yang berada di sisi Putranya yang sekarat, ia berkata, ‘bahwa ia hidup sekarat tanpa mampu mati.’ ‘Di dekat salib Kristus, Ibunda-Nya berdiri setengah mati; ia tidak berbicara; sekarat, ia hidup, dan hidup, ia mati; tidak pun ia dapat mati, sebab kematian adalah hidupnya sendiri.’[19] Passino menulis bahwa Yesus Kristus sendiri pada suatu hari berbicara kepada Beata Baptista Varani dari Camerino, meyakinkannya bahwa sewaktu Ia di salib, begitu besar penderitaan-Nya saat melihat Ibunda-Nya di kaki-Nya, yang mengalami kepedihan yang demikan pahitnya, sehingga rasa iba untuknya menyebabkan-Nya mati tanpa penghiburan; sedemikian rupa sehingga Beata Baptista, yang dicerahkan secara supernatural tentang besarnya penderitaan Yesus ini pun berseru, Ya Tuhan, janganlah bercerita lagi tentang dukacita-Mu ini, sebab aku tidak lagi dapat menahannya.’[20]
‘Semua orang,’ ucap Simon dari Cassia, ‘yang dahulu melihat sang Ibunda terdiam, dan tidak mengucapkan sebuah keluhan pun di tengah-tengah penderitaan yang demikian besarnya, dipenuhi ketakjuban.’[21] Tetapi, jika bibir Maria terdiam, hatinya tidak, sebab ia tidak henti-hentinya mempersembahkan hidup Putra-Nya kepada Keadilan Ilahi demi keselamatan kita. Maka, kita tahu bahwa oleh jasa-jasa dukacitanya, ia bekerja sama di dalam kelahiran kita ke dalam kehidupan rahmat; dan oleh karena itu, kita adalah anak-anak dukacitanya…
Jika suatu pengiburan pun masuk ke dalam lautan kepahitan itu, hati Maria, satu-satunya penghiburan itu adalah ini, yakni bahwa ia tahu bahwa oleh dukacitanya, ia menuntun kita kepada keselamatan kekal… Dan memang ini adalah kata-kata terakhir yang diucapkan Yesus untuk berpisah darinya sebelum ajal-Nya: inilah saran-Nya yang terakhir, yang menyerahkan kita kepadanya sebagai anak-anaknya di dalam pribadi Santo Yohanes: ‘Wanita, lihatlah putramu.’[22] Sejak saat itu, Maria mulai melakukan tanggung jawab seorang Ibunda bagi kita; sebab Santo Petrus Damianus bersaksi, ‘bahwa oleh doa-doa Maria, yang berdiri di antara salib sang pencuri baik dan salib Putranya, sang pencuri berkonversi dan diselamatkan, dan oleh karena itu ia membalas suatu jasa yang terdahulu.’[23] Sebabm seperti yang diceritakan oleh para penulis lain pula, pencuri ini dahulu berbuat baik kepada Yesus dan Maria pada perjalanan mereka ke Mesir; dan tanggung jawab yang sama ini telah selalu dilanjutkan oleh sang Perawan Suci, dan masih terus dilanjutkannya.
TELADAN
Seorang pria muda di Perugia berjanji kepada iblis, bahwa jika ia membuatnya dapat memperoleh suatu tujuan penuh dosa yang dikehendakinya, ia akan memberikan kepadanya jiwanya ; dan ia memberikan sebuah kontrak tertulis yang serupa, yang ditandatangani di dalam darahnya sendiri. Sewaktu kejahatan itu telah dilakukan, iblis meminta pelaksanaan janji ini ; dan untuk tujuan ini menuntunnya ke pinggiran sebuah sumur, pada waktu yang sama, ia mengancam bahwa jika ia tidak menjatuhkan diri ke dalamnya, iblis itu akan menyeretnya, tubuh dan jiwa, ke Neraka. Orang muda yang malang itu berpikir bahwa mustahil untuk lolos dari tangannya, menaiki dinding sumur itu untuk menjatuhkan dirinya ke dalamnya; tetapi karena takut akan kematian, ia berkata kepada iblis bahwa ia tidak memiliki keberanian untuk melompat, tetapi bahwa jika ia bertekad mencabut nyawanya, ia harus mendorongnya ke dalam sumur itu. Sang pemuda mengenakan skapulir Dukacita Maria, maka, iblis berkata, ‘Lepaskan skapulir itu, dan lalu aku akan mendorongmu.’ Tetapi, sang pemuda, saat ia menyadari bahwa di dalam skapulir itu, perlindungannya masih dianugerahkan kepadanya oleh sang Bunda Allah, menolak untuk melakukannya, dan lama setelahnya, setelah banyak bertengkar dengan pria muda itu, iblis, yang dipenuhi dengan kebingungan, pergi ; dan sang pendosa, yang bersyukur kepada Bunda Dukacitanya, pergi berterima kasih kepadanya. Karena ia menyesali dosa-dosanya, ia mempersembahkan sebagai persembahan votif di altarnya, di dalam gereja Santa Maria la Nuova di Perugia, sebuah gambar tentang apa yang telah terjadi.[24]
DOA
Ah, Ibunda, yang paling berduka dari segala ibunda, Putramu telah mati; Putra yang begitu tercinta, dan yang begitu mencintaimu! Maka, menangislah, sebab engkau memiliki alasan untuk menangis. Siapakah yang dapat menghiburmu? Pikiran itu sendiri, bahwa Yesus oleh wafat-Nya mengalahkan Neraka, membuka Surga yang sampai saat itu tertutup untuk manusia, dan memenangkan begitu banyak jiwa, dapat menghiburmu. Dari takhta salib itu Ia akan meraja di dalam banyak hati yang, setelah ditaklukkan oleh cinta-Nya, akan melayani-Nya dengan cinta. Sementara itu, janganlah membenci, ya Bunda, sehingga engkau tidak menjagaku dekat dirimu, untuk menangis bersamamu, sebab aku memiliki begitu banyak alasan untuk menangisi kejahatan-kejahatan yang olehnya aku telah menyakiti-Nya. Ya, Bunda Kerahiman, kuberharap, pertama-tama, lewat kematian sang Penebusku, dan lalu lewat dukacitamu, aku dapat memperoleh ampun dan keselamatan kekal. Amin.”
Catatan kaki:
Diterjemahkan dari edisi berbahasa Inggris : Santo Alfonsus de Liguori, Glories of Mary [Kemuliaan Maria], Revisi oleh Rev. Robert A. Coffin, London: Burns and Oates, 1868, hal. 443-450.
[1] Stabant autem juxta crucem Jesu mater eju, &c. –Joan. xix. 25.
[2] Serm. ii. de Pass.
[3] Ego non separabar ab eo, et stabam vicinior cruci ejus. – Rev. l. i. c. 35.
[4] O domina… quare ivisti ad Calvariae locum? Cur te non retinuit pudor mulieris, cur te non retinuit horror facinoris? Non considerabat cor tuum… horrorem sed dolorem. – Stim. Am. P. i. cap. 3.
[5] Plane mater, quae nec in terrore mortis Filium deserebat. – Serm. iv. de Assum.
[6] Rev, lib. i. cap. 10; lib. iv, cap. 70.
[7] O Fili, non habeo nisi aquam lacrymarum. – Serm. in Fer. vi. Parasc.
[8] Volebat amplecti Christum in alto pendentem, sed manus frustra protensae in se complexe redbant. – De Lament. B. M. V.
[9] Torcular calcavi solus… Circumspexi, et non erat auxiliator : quasivi, et non fuit qui adjuvaret. – Is. lxiii. 3.5.
[10] Praetereuntes autem blasphemabant eum, moventes capita sua. – Matt. xxvii. 39.
[11] Si Filius Dei es, descende de cruce. – b. 40.
[12] Alios salvos fecit, seipsum non potest salvum facere. – Ib. 42.
[13] Si Rex Israel est, descendat nunc de cruce. – Ib. 42.
[14] Rev. lib. iv. cap. 70.
[15] Deus meus, Deus meus, ut quid dereliquisti me? Matt. xxvii. 46.
[16] Rev. lib. iv. cap. 70.
[17] Repleta Matre, ad Filium redundaret inundatio amaritudinis.
[18] Stabam et ego videns eum: et ipse videns me, plus dolebat de me quam de se. – De Lament. B. V. M.
[19] Juxta crucem Christi stabat emortua mater… vox illi non erat… quasi mortua vivens vivebat moriens, moriebatur vivens, neo mori poterat quae vivens mortua erat. – Ib.
[20] Boll. 31 Maii, Vit. rev. § 2.
[21] Stupebant omnes qui noverant hujus hominis matrem, quod etiam in tantae angustiae pressura silentium servabat.
[22] Mulier, ecce filius tuus. – Joan. xix. 26.
[23] Idcirco resipuit bonus latro, quia B. Virgo inter cruces Filii et latronis posita, Filium pro latrone deprecabatur, hoc suo beneficio antiquum latronis absequium recompensans. – Ap. Silveira Com. l. 8, c. 14, q. 8.
[24] Siniscalchi, Marav. Di M. cons. 16.
Artikel-Artikel Terkait
Bunda maria yang penuh kasih... doakanlah kami yang berdosa ini ....
Thomas N. 1 bulanBaca lebih lanjut...Halo – meski Bunda Teresa dulu mungkin tampak merawat orang secara lahiriah, namun secara rohaniah, ia meracuni mereka: yakni, dengan mengafirmasi mereka bahwa mereka baik-baik saja menganut agama-agama sesat mereka...
Biara Keluarga Terkudus 2 bulanBaca lebih lanjut...Tentu saja kami ini Katolik. Perlu anda sadari bahwa iman Katolik tradisional itu perlu untuk keselamatan, dan bahwa orang yang meninggal sebagai non-Katolik (Muslim, Protestan, Hindu, Buddhis, dll.) TIDAK masuk...
Biara Keluarga Terkudus 2 bulanBaca lebih lanjut...Terpuji lah Tuhan allah pencipta langit dan bumi
Agung bp 2 bulanBaca lebih lanjut...apakah anda katolik benaran?
lidi 2 bulanBaca lebih lanjut...Saat bunda teresa dengan sepenuh hati merawat dan menemani mereka dalam sakratul maut saya percaya kalau tindakan beliau secara tidak langsung mewartakan injil dan selebihnya roh kudus yang berkenan untuk...
bes 3 bulanBaca lebih lanjut...Ramai dibahas oleh kaum protestan soal soal Paus Liberius. Trimakasuh untuk informasinya
Nong Sittu 3 bulanBaca lebih lanjut...Halo kami senang anda kelihatannya semakin mendalami materi kami. Sebelum mendalami perkara sedevakantisme, orang perlu percaya dogma bahwa Magisterium (kuasa pengajaran Paus sejati) tidak bisa membuat kesalahan, dan juga tidak...
Biara Keluarga Terkudus 5 bulanBaca lebih lanjut...Materi yang menarik. Sebelumnya saya sudah baca materi ini, namun tidak secara lengkap dan hikmat. Pada saat ini saya sendiri sedang memperdalami iman Katolik secara penuh dan benar. Yang saya...
The Prayer 5 bulanBaca lebih lanjut...Santa Teresa, doakanlah kami
Kristina 6 bulanBaca lebih lanjut...